Revolusi Indostri 4.0
Revolusi Indostri 4.0
Assalamu'alaikum Wr wb.
A. PENDAHULUAN
Untuk pembahasan kali ini saya akan menginformasikan kepada teman-teman semua yang khususnya sekarang sedang mengannyam dibangku pendidikan SMK maupun sederajat, apa informasi tersebut? yakni persiapan kita dalam menymbut revolusi industri 4.0
B. LATAR BELAKANG
Dengan berkembangnya teknologi dan semakin pesatnya kemajuan zaman sebuah ilmu pengetahuan dimana manusia sudah mampu mencapai puncak peradaban dalam bidang teknologi, dan kita khususnya di INDONESIA sendiri juga harus siap dalam menyambut hal tersebut, untuk selengkapnya silahkan baca sampai akhir..
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Dengan adanya pembahasan ini semoga kita yang khususnya anak IT mengerti dan faham betul dengan apa yang akan kita hadapi sekarang, dan semoga dengan apa yang saya catat kali ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan tentang REVOLUSI INDUSTRI 4.0 yang akan kita hadapi ini.
D. PEMBAHASAN
A. Apa itu revolusi industri 4.0?
Adalah Prof Klaus Schwab, Ekonom terkenal dunia asal Jerman, Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) yang mengenalkan konsep Revolusi Industri 4.0. Dalam bukunya yang berjudul “The Fourth Industrial Revolution”, Prof Schawab (2017) menjelaskan revolusi industri 4.0 telah mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental. Berbeda dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas.
Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan berkat kemajuan teknologi baru diantaranya :
(1) robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic),
(2) teknologi nano,
(3) bioteknologi, dan
(4) teknologi komputer kuantum,
(5) blockchain (seperti bitcoin),
(6) teknologi berbasis internet, dan
(7) printer 3D.
Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Menurut Prof Schwab, dunia mengalami empat revolusi industri.
Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api dan kapal layar. Berbagai peralatan kerja yang semula bergantung pada tenaga manusia dan hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin uap. Dampaknya, produksi dapat dilipatgandakan dan didistribusikan ke berbagai wilayah secara lebih masif. Namun demikian, revolusi industri ini juga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk pengangguran masal.
Ditemukannya enerji listrik dan konsep pembagian tenaga kerja untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar pada awal abad 19 telah menandai lahirnya revolusi industri 2.0. Enerji listrik mendorong para imuwan untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan teknologi ban berjalan. Puncaknya, diperoleh efesiensi produksi hingga 300 persen.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat pada awal abad 20 telah melahirkan teknologi informasi dan proses produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem otomatisasi berbasis komputer. Dampaknya, biaya produksi menjadi semakin murah. Teknologi informasi juga semakin maju diantaranya teknologi kamera yang terintegrasi dengan mobile phone dan semakin berkembangnya industri kreatif di dunia musik dengan ditemukannya musik digital.
Revolusi industri mengalami puncaknya saat ini dengan lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di seluruh dunia. Revolusi industri terkini atau generasi keempat mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online. Munculnya bisnis transportasi online seperti Gojek, Uber dan Grab menunjukkan integrasi aktivitas manusia dengan teknologi informasi dan ekonomi menjadi semakin meningkat. Berkembangnya teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah berubah secara fundamental.
B. Era Disrupsi
Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, revolusi industri 4.0 telah mendorong inovasi-inovasi teknologi yang memberikan dampak disrupsi atau perubahan fundamental terhadap kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tak terduga menjadi fenomena yang akan sering muncul pada era revolusi indutsri 4.0.
Kita menyaksikan pertarungan antara taksi konvensional versus taksi online atau ojek pangkalan vs ojek online. Publik tidak pernah menduga sebelumnya bahwa ojek/taksi yang populer dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan mobilitas manusia berhasil ditingkatkan kemanfaatannya dengan sistem aplikasi berbasis internet. Dampaknya, publik menjadi lebih mudah untuk mendapatkan layanan transportasi dan bahkan dengan harga yang sangat terjangkau.
Yang lebih tidak terduga, layanan ojek online tidak sebatas sebagai alat transportasi alternatif tetapi juga merambah hingga bisnis layanan antar (online delivery order). Dengan kata lain, teknologi online telah membawa perubahan yang besar terhadap peradaban manusia dan ekonomi.
Menurut Prof Rhenald Kasali (2017), disrupsi tidak hanya bermakna fenomena perubahan hari ini (today change) tetapi juga mencerminkan makna fenomena perubahan hari esok (the future change). Prof Clayton M. Christensen, ahli administrasi bisnis dari Harvard Business School, menjelaskan bahwa era disrupsi telah mengganggu atau merusak pasar-pasar yang telah ada sebelumnya tetapi juga mendorong pengembangan produk atau layanan yang tidak terduga pasar sebelunya, menciptakan konsumen yang beragam dan berdampak terhadap harga yang semakin murah (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi_disruptif). Dengan demikian, era disrupsi akan terus melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan untuk merespon tuntutan dan kebutuhan konsumen di masa yang akan datang.
Perubahan di era disrupsi menurut Prof Kasali (2017) pada hakikatnya tidak hanya berada pada perubahan cara atau strategi tetapi juga pada pada aspek fundamental bisnis. Domain era disrupsi merambah dari mulai struktur biaya, budaya hingga pada ideologi industri. Implikasinya, pengelolaan bisnis tidak lagi berpusat pada kepemilikan individual, tetapi menjadi pembagian peran atau kolaborasi atau gotong royong. Di dalam dunia perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari berkembangnya riset-riset kolaborasi antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) tetapi didorong untuk menemukan potensi masalah maupun potensi nilai ekonomi yang dapat membantu masyarakat untuk mengantisipasi berbagai masalah sosial ekonomi dan politik di masa depan.
C. Peluang
Revolusi industri 4.0 membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju. Teknologi informasi yang semakin mudah terakses hingga ke seluruh pelosok menyebabkan semua orang dapat terhubung didalam sebuah jejaring sosial. Banjir informasi seperti yang diprediksikan Futurolog Alvin Tofler (1970) menjadi realitas yang ditemukan di era revolusi industri saat ini. Informasi yang sangat melimpah ini menyediakan manfaat yang besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun perekonomian.
Jalaluddin Rakhmat (1997:6) membagi era informasi kedalam lima karakteristik, yaitu Kekayaan, Teknosfer, Infosfer, Sosiosfer, dan Psikosfer. Karakteristik informasi sebagai kekayaan menunjukkan bahwa informasi yang diterima dan dikuasai seseorang dapat dimanfaatkan untuk sarana akumulasi kekayaan atau sumber komersialisasi. Dalam konteks ini, alumni atau mahasiswa dapat mempromosikan hasil kreasinya kepada publik melalui jejaring media sosial untuk mendapatkan tanggapan atau respon sehingga dapat dijadikan ukuran untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya. Telah banyak kisah sukses pengusaha-pengusaha muda atau bahkan ibu rumah tangga dalam menjalan bisnis mereka dengan memanfaatan teknologi informasi khususnya media sosial. Kunci kesuksesan mereka adalah menjual produk inovatif, menjaga kualitas dan kepercayaan konsumen, dan tentu saja kreatif.
Karakteristik informasi yang kedua adalah teknosfer atau pola lingkungan teknologi. Masyarakat di era revolusi industri 4.0 memiliki ketergantungan yang sangat besar dalam menggunakan teknologi informasi. Sebuah survey pada tahun 2014 dilakukan oleh Nokia menemukan temuan-temuan yang mengejutkan mengenai tingkat ketergantungan manusia terhadap teknologi.
- Pertama, rata-rata hampir setiap enam setengah menit seseorang mengecek ponselnya. Bahkan dalam waktu 16 jam saat orang beraktivitas, mereka melakukan 150 kali per hari untuk memerika ponsel mereka.
- Kedua, satu dari empat orang mengakui durasi onlinenya lebih banyak daripada durasi tidurnya dalam setiap harinya.
- Ketiga, 1.500 responden di Inggris menghabiskan waktunya dengan bermedia sosial selama 62 juta jam per hari.
- Keempat, perempuan lebih sering berselancar di facebook daripada laki-laki. Kelima, tingkat kecanduan terhadap media sosial seperti twitter dan facebook lebih tinggi daripada merokok (sumber: http://www.beritasatu.com/gaya-hidup/232713-8-fakta-ketergantungan-pada-teknologi.html).
Infosfer atau bentuk lingkungan informasi merupakan karaker ketiga dari era informasi. Daya jangkau teknologi informasi tidak hanya berskala lokal tetapi hingga skala global. Melalui internet, akses informasi dapat dijangkau hingga ke berbagai penjuru dunia. Fakta ini menjadi peluang bagi para wirausahawan muda untuk mempromosikan produk-produk kreatifnya hingga ke berbagai belahan dunia. Riset yang saya lakukan juga menguatkan hal tersebut. Meskipun skala bisnis UMKM terbilang kecil, tetapi produk-produknya dapat dinikmati oleh pasar regional berkat dukungan teknologi internet.
Karakteristik era informasi lainnya adalah sosiosfer atau pergeseran lingkungan komunikasi sosial. Dulu para guru, kyai, ulama, pendeta, birokrat dan politisi memiliki pengaruh yang besar sebagai agen sosialisasi. Namun saat ini, peran sosialisasi tradisional mereka telah diambil alih oleh media komputer dan smarthphone. Efek ketergantungan yang tinggi dalam penggunaan media informasi digital telah membentuk opini setiap individu. Saat ini setiap orang memiliki akses yang tinggi untuk terlibat aktif untuk memberikan dan membagikan opini kepada pihak lain melalui media sosial online. Situasi ini membuka peluang bagi para mahasiswa dan alumni untuk membentuk opini positif tentang berbagai hal kepada pihak lain. Bahkan teknologi media sosial dapat dimanfaatkan untuk membentuk “keluarga besar alumni UT” di dunia virtual, walaupun secara geografis berjauhan tetapi didekatkan dengan media sosial. Hal ini menjadi peluang untuk saling bekerja sama diantara para alumni untuk berbagi informasi maupun transaksi bisnis online.
Karakteristik era informasi yang terakhir adalah psikosfer. Karakter psikosfer merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan dalam era “banjir” informasi. Melimpahnya informasi tentunya tidak hanya membawa pengetahuan positif tetapi juga negatif. Kemampuan seseorang untuk mengolah pengetahuan (knowledge) menjadi kearifan (wisdom) dalam lingkungan sosialnya akan menentukan tingkat ketahanannya di era informasi. Dengan demikian, tindakan share and resharing informasi telah didasari oleh nilai-nilai etis sehingga tidak akan menciptakan eskalasi kegaduhan publik.
Sebagai contoh, derasnya informasi hoax (berita bohong) menjelang pilkada serentak maupun pilpres tidak akan meningkatkan kegaduhan jika penerima informasi telah memiliki kesadaran etis dalam menyaring informasi hoax. Dalam bahasa sederhananya: mahasiswa dan alumni UT harus memiliki pedoman etis “think first before you share”. Oleh karena itu, peluang yang dapat diambil oleh para mahasiswa dan alumni UT dalam konteks ini adalah dengan ikut berperan mempromosikan literasi etis untuk menggunakan media informasi secara sehat.
D. Tantangan
Revolusi industri generasi empat tidak hanya menyediakan peluang, tetapi juga tantangan bagi generasi milineal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pemicu revolusi indutri juga diikuti dengan implikasi lain seperti pengangguran, kompetisi manusia vs mesin, dan tuntutan kompetensi yang semakin tinggi.
Menurut Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi industri 4.0 dalam lima tahun mendatang akan menghapus 35 persen jenis pekerjaan. Dan bahkan pada 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang akan hilang bertambah menjadi 75 persen. Hal ini disebabkan pekerjaan yang diperankan oleh manusia setahap demi setahap digantikan dengan teknologi digitalisasi program. Dampaknya, proses produksi menjadi lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah didistribusikan secara masif dengan keterlibatan manusia yang minim. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan berkembangnya sistem online perbankan telah memudahkan proses transaksi layanan perbankan. Akibatnya, 48.000 teller bank harus menghadapi pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi (Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/01/31/17225241/pekerjaan-yang-diprediksi-punah-akibat-revolusi-industri-apa-saja).
Bahkan menurut survey McKinsey, sebuah korporasi konsultan manajemen multinasional, di Indonesia sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan berpotensi digantikan dengan sistem digital. Dengan kata lain, 52 persen angkatan kerja atau merepresentasikan 52,6 juta orang akan kehilangan pekerjaan (sumber: https://public.tableau.com/profile/mckinsey.analytics#!/vizhome/InternationalAutomation/WhereMachinesCanReplaceHumans) .
Secara lebih detil Gambar 2 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang potensial diotomatisasikan diantaranya usaha pengolahan (manufaturing), perdagangan ritel, transportasi dan pergudangan, tenaga administrasi, konstruksi, layanan makanan dan akomodasi, pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta layanan kesehatan dan keuangan/asuransi. Dengan demikian, revolusi industri dapat mengancam makin tingginya pengangguran di Indonesia.
(Sumber:https://public.tableau.com/profile/mckinsey.analytics#!/ vizhome/International Automation/ WhereMachinesCanReplace Humans)
Namun demikian, bidang pekerjaan yang berkaitan dengan keahlian Komputer, Matematika, Arsitektur dan Teknik akan semakin banyak dibutuhkan. Bidang-bidang keahlian ini diproyeksikan sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang mengandalkan teknologi digital.
Situasi pergeseran tenaga kerja manusia ke arah digitalisasi merupakan bentuk tantangan yang perlu direspon oleh para mahasiswa dan almuni Universitas Terbuka. Tantangan ini perlu dijawab dengan peningkatan kompetensi alumni terutama penguasaan teknologi komputer, keterampilan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama secara kolaboratif, dan kemampuan untuk terus belajar dan adaptif terhadap perubahan lingkungan.
E. KESIMPULAN
Revolusi industri saat ini memasuki fase keempat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Banyak kemudahan dan inovasi yang diperoleh dengan adanya dukungan teknologi digital. Layanan menjadi lebih cepat dan efisien serta memiliki jangkauan koneksi yang lebih luas dengan sistem online. Hidup menjadi lebih mudah dan murah.
Namun demikian, digitalisasi program juga membawa dampak negatif. Peran manusia setahap demi setahap diambil alih oleh mesin otomatis. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin meningkat. Hal ini tentu saja akan menambah beban masalah lokal maupun nasional. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan peluang dan menjawab tantangan revolusi industri 4.0, para mahasiswa dan alumni Universitas Terbuka wajib memiliki kemampuan literasi data, teknologi dan manusia (Sumber: http://belmawa.ristekdikti.go.id/2018/01/17/era-revolusi-industri-4-0-perlu-persiapkan-literasi-data-teknologi-dan-sumber-daya-manusia/).
No comments